Dear Ajal,
Jam 8.30 pagi, rute yang biasa dilewati ketika berangkat kerja, di depan stadion senayan, saya lihat Anda bekerja mencabut nyawa seorang wanita bermotor bebek supra. Tidak terlalu naas karena adegan yang Anda buat merobohkan tiba-tiba, dugaan sok pintar saya Anda merusak peredaran darah menuju jantung membuat tubuh kaku dan berwarna biru, mengeluarkan darah dari rongga hidung, mungkin rongga lainnya juga tetapi tidak jelas karena saya tidak bisa tahan lama-lama menyaksikan pertunjukkan satu ini.
Senin pagi, seperti biasa hari dimana jakarta lebih padat dari biasanya, anehnya tak banyak orang menoleh entah karena kepekaan masyarakat di sini sudah berkurang atau karena adegan yang Anda buat, wahai Ajal, kurang dramatis. Saya di sana hanya berkesempatan jadi penonton saja, sambil bertanya-tanya (dalam hati) Siapakah dia? Dimanakah keluarganya? Apa pekerjaannya? Bagaimana orang-orang yang dia tinggalkan kemudian? Ketika wanita itu di bopong oleh seorang pengendara motor yang kebetulan berada paling dekat.
Wahai Ajal, sepanjang perjalanan Anda menyita perhatian. Saya tahu Anda bekerja sesuka hati. Saya maklum mengingat banyaknya nyawa yang harus Anda cabut setiap hari. Jadi pasti butuh pekerjaan yang bervariasi, kadang halus, kadang kasar, kadang dengan cara yang sopan, kadang dengan cara yang impolite. Entah tergantung apa, mungkin mood Anda yang suka naik turun.
Dear Ajal, andai saja Anda punya official itenary tentang “Bagaimana cara penyambutan sang Ajal”, Saya rasa semua orang siap dengan caranya masing-masing. Ada yang menunggu duduk manis di taman dengan senyum halus dan ekspresi "Yes, I’m ready". Tipe yang begini tidak mau capek, biasanya tipe-tipe Si Kakek atau Si Nenek yang sudah pasrah akan idup. Ada juga dengan cara yang sangat tergesa-gesa dan penuh keringat, seperti sedang dipacu adrenalinnya, melarikan diri dari Anda tetapi pada akhirnya menyerah juga.
Saya jadi ingat film Final Destination. Mereka, para korban ajal, capek-capek menghindar tetapi ujung-ujungnya meninggal semua. Bukan film yang bagus buat saya tapi buat sebagian orang bagus makanya bisa lanjut sampai film kelima. Bukan main!
Wahai Ajal, kalau boleh saya request, pada gilaran saya kelak, tolong Anda lakukan tidak di jalan raya. Karena jujur saja KTP saya aspal, alamat yang tertera bukan petunjuk ke rumah, jadi pasti akan banyak menyusahkan orang yang mencari alamat saya nanti. Jangan pula pakai cara yang mengerikan; yang bakal membuat mata saya jadi terbelalak karena akan terbelalak pula mata Mamak saya. Kasihan beliau.
Manapun itu, tolong beri saya tanda, ya!
Wahai Ajal, buatlah saya siap.
Senin pagi, seperti biasa hari dimana jakarta lebih padat dari biasanya, anehnya tak banyak orang menoleh entah karena kepekaan masyarakat di sini sudah berkurang atau karena adegan yang Anda buat, wahai Ajal, kurang dramatis. Saya di sana hanya berkesempatan jadi penonton saja, sambil bertanya-tanya (dalam hati) Siapakah dia? Dimanakah keluarganya? Apa pekerjaannya? Bagaimana orang-orang yang dia tinggalkan kemudian? Ketika wanita itu di bopong oleh seorang pengendara motor yang kebetulan berada paling dekat.
Wahai Ajal, sepanjang perjalanan Anda menyita perhatian. Saya tahu Anda bekerja sesuka hati. Saya maklum mengingat banyaknya nyawa yang harus Anda cabut setiap hari. Jadi pasti butuh pekerjaan yang bervariasi, kadang halus, kadang kasar, kadang dengan cara yang sopan, kadang dengan cara yang impolite. Entah tergantung apa, mungkin mood Anda yang suka naik turun.
Dear Ajal, andai saja Anda punya official itenary tentang “Bagaimana cara penyambutan sang Ajal”, Saya rasa semua orang siap dengan caranya masing-masing. Ada yang menunggu duduk manis di taman dengan senyum halus dan ekspresi "Yes, I’m ready". Tipe yang begini tidak mau capek, biasanya tipe-tipe Si Kakek atau Si Nenek yang sudah pasrah akan idup. Ada juga dengan cara yang sangat tergesa-gesa dan penuh keringat, seperti sedang dipacu adrenalinnya, melarikan diri dari Anda tetapi pada akhirnya menyerah juga.
Saya jadi ingat film Final Destination. Mereka, para korban ajal, capek-capek menghindar tetapi ujung-ujungnya meninggal semua. Bukan film yang bagus buat saya tapi buat sebagian orang bagus makanya bisa lanjut sampai film kelima. Bukan main!
Wahai Ajal, kalau boleh saya request, pada gilaran saya kelak, tolong Anda lakukan tidak di jalan raya. Karena jujur saja KTP saya aspal, alamat yang tertera bukan petunjuk ke rumah, jadi pasti akan banyak menyusahkan orang yang mencari alamat saya nanti. Jangan pula pakai cara yang mengerikan; yang bakal membuat mata saya jadi terbelalak karena akan terbelalak pula mata Mamak saya. Kasihan beliau.
Manapun itu, tolong beri saya tanda, ya!
Wahai Ajal, buatlah saya siap.
Comments
Post a Comment
Hai, terima kasih sudah berkenan mampir ke blog Aprijanti.com
Saya membaca setiap komentar yang masuk. Jika ada pertanyaan penting, mohon untuk cek kembali balasan saya pada postingan ini, ya! Mohon maaf untuk setiap komentar dari unknown, spam, pornografi, judi, caci maki, dan komentar yang memiliki link hidup, akan saya hapus. Salam! :)