Sebelumnya, saya ucapkan Selamat Idul Fitri. Saya minta maaf atas postingan-postingan kemarin yang kurang berkenan.
Buat saya liburan Idul Fitri tahun ini terasa pendek, mungkin karena jatuh pada hari kamis, setelah itu weekend, setelah itu kembali Senin. Dan saya sebagai newbie di kantor belum boleh dapat jatah cuti. It means we have to get back to work and routine. Jadi saya putuskan liburan lebaran tahun ini tidak ke mana-mana. Seminggu di rumah saja bersama keluarga lantas bukan berarti saya tidak mendapatkan apa-apa selain kebosanan. Ada satu moment yang membuat saya terpelintir ngilu.
Siang itu, kita sebut saja Ibu S. Ibu S baru saja terserang penyakit kadar gula darah tinggi, Diabetes orang-orang sebut. Beberapa bulan lalu Ibu S masih segar bugar, cerewet dan aktif. Tapi siapa yang tahu kalau penyakit tiba-tiba menyerang? Ibu S punya dua orang anak, satu lelaki dan satu wanita, keduanya sudah berumah tangga. Karena merasa sangat lemah, ketika berjalan Ibu S harus dipapah. Dan orang yang paling direpotkan oleh Ibu S adalah anak-anaknya. Lebaran sebelah mana yang tidak repot? Ketika berkumpul dengan masyarakat sekitar atau saudara, mulai dari yang kecil sampai yang dewasa, pasti perlu berinteraksi ke sana kemari. Begitu pula dengan Ibu S. Ibu S ingin seperti yang lainnya; seperti Ibu-Ibu sehat lainnya bisa ke mana-mana dengan leluasa. Ibu S mengandalkan kedua anaknya yang sudah berumah tangga. Mungkin berat bagi si anak - sudah repot sebagai orang tua, makin repot lagi harus memapah orang tuanya yang sedang sakit.
Saya lihat, Ibu saya pun lihat, ketika Ibu S dihardik anaknya sendiri.
"Tidak usah dibantu berjalan, dia sedang pura-pura!" Atas perkataan anak lelakinya, Ibu saya hanya bisa menganga dan memberi nasehat seperlunya.
Mungkin dulu, sebagai pengusaha single parent yang sukses, Ibu S tidak terlalu peduli dengan detail kebutuhan anak-anaknya. Pergaulan anak-anaknya dibatasi, pun kebutuhan pendidikan tidak dipenuhi. Anak-anaknya hanya lepas sampai SMA saja (padahal yang saya tahu dulu anak lelakinya punya cita-cita sebagai nahkoda kapal tetapi tidak dipenuhi jenjang pendidikannya). Padahal dengan kondisinya dulu, Ibu S bisa memberikan segalanya lebih kepada anak-anaknya dibanding dengan kesepatan yang anak-anak lainnya bisa peroleh dari orang tuanya. Kurang bahagia, begitu mungkin bahasa sok tahu saya melihat kondisi kehidupan anak-anaknya kala itu. Lantas ketika dewasa, anak-anaknya pun menjadi tidak peka akan kebutuhan Ibunya. Karma? Bisa jadi.
Setelah kejadian Ibu-Anak yang kurang mengenakan itu, di rumah, waktu kami hanya berdua saja, Ibu saya bilang, "kalau aku semakin tua, dan menyusahkan... Tolong jangan dibentak."
Sekarang saya yang dibuat menganga oleh Ibu saya. Jangankan mengiyakan tanda setuju, menatap mata Ibu waktu dia bilang hal seperti itu, saya tidak sanggup.
Pasti anaknya Ibu S belum nikah makanya bisa ngomong kasar gitu ke nyokapnya. Hal di mana gw paling nyesel ngelawan sama nyokap pas istri nemenin istri gw ngelahirin, di situ gw ngeliat sendiri bagaimana seorang ibu rela taruhan nyawa demi bisa ngelahirin. Itu kenapa Allah menempatkan surga di bawah kaki ibu bukanya di bawah kaki meja (kalimat terakhir gw kutip dari salah satu postingan gw he...)
ReplyDeletekedua anaknya Ibu S sudah menikah dan punya anak, mas.
DeleteSelain istilah anak durhaka, mungkin juga ada masanya untuk istilah orang tua durhaka. :)
Kisah yang sangat inspiratif.
ReplyDeleteSemoga anak-anaknya ibu S bisa mengerti akan keadaan ibunya, supaya nanti mereka gak menyesal di kemudian hari ketika ibu S sudah "tidak ada".
amin...
DeleteKamu adalah hasil dari didikan orang tua, mutlak. Namun, sebagai manusia yang berevolusi seharusnya tahu dan dapat memilah serta memilih didikan mana yang baik-benar-tepat lalu pertahankan sisanya yah jadikan pelajaran. Seharusnya sik gitu .... Nice post :D
ReplyDeleteKadang aku suka lupa diri meninggikan nada suara saat berbicara dengan orang tua *sigh*
Deleteterima kasih sudah mengingatkan, aprie :D
Nice Comment, eva! :)
DeleteHeuu.. Mba Anggi, saya pun sama, sering banget lupa diri :(