Kalau kamu menanyakan hal itu kepadaku, maka aku akan menjawab "Membingkainya. Lalu menaruhnya pada sudut ruangan."
"Bukan menguburnya ke dasar bumi paling dalam atau melemparnya ke ujung langit paling tinggi. Karena menurutku, kenangan tidak bisa mati. Maka aku putuskan untuk tidak menguburnya atau melemparnya. Aku akan membingkainya dengan pigura kayu. Lalu kukumpulkan ia pada kardus kotak berwarna putih, yang kuletakkan di bawah meja belajar berpolitur putih, di dalam kamar baca dengan cat temboknya yang putih.
"Wah, kamu punya kelainan, ya? Kenapa harus putih semua?"
"Itu hanya..., agar ia tidak kentara. Itu saja."
"Sesekali aku akan merawatnya; bersihkan permukaannya serta pinggiran piguranya. Lalu meletakkannya kembali pada kardus kotak berwarna putih, di bawah meja belajar yang berpolitur putih, di dalam kamar bacaku dengan cat temboknya yang putih."
"Aku pernah bersalah pada kenangan, seperti menguburnya atau melemparnya. Jadi, anggap saja perlakuanku yang merawat kenangan adalah permintaan maaf. Aku sudah tidak berterimakasih, bahwa kenanganlah yang telah membawaku sampai ke sini."
"Kalau kamu sempat membayangkan sebuah ruangan putih – kamar bacaku yang sunyi tadi – hanya ada meja belajar di sudut kanannya dan beberapa bingkai yang terpaku di temboknya yang sebelah kiri, selurusan dengan pintu.
Setelah merawat kenangan dan melakukan ini-itu, sebelum aku keluar ruangan melalui pintu, aku akan melihat-lihat bingkai yang terpaku pada tembok itu. Sebenarnya ia adalah kenangan, namun aku sebut mereka – bingkai yang terpaku pada tembok – tujuan. Itulah alasan mengapa mereka lantas kupajang. Hanya ada beberapa yang kupajang, sisanya masih ada di dalam kardus kotak putih.
Aku membatasi diri untuk tidak memajangnya banyak-banyak. Sehingga sebelum aku keluar dan mematikan lampu dapat kutengok-tengok mereka dahulu tanpa kehabisan waktu. O ya, aku juga telah membuat syarat yang ketat: tujuan harus dipasang setinggi kedua mataku berdiri. Jika tinggiku hanya 160 senti, maka tujuan sebaiknya dipasang setinggi 150 senti pada dinding tembok."
Setelah merawat kenangan dan melakukan ini-itu, sebelum aku keluar ruangan melalui pintu, aku akan melihat-lihat bingkai yang terpaku pada tembok itu. Sebenarnya ia adalah kenangan, namun aku sebut mereka – bingkai yang terpaku pada tembok – tujuan. Itulah alasan mengapa mereka lantas kupajang. Hanya ada beberapa yang kupajang, sisanya masih ada di dalam kardus kotak putih.
Aku membatasi diri untuk tidak memajangnya banyak-banyak. Sehingga sebelum aku keluar dan mematikan lampu dapat kutengok-tengok mereka dahulu tanpa kehabisan waktu. O ya, aku juga telah membuat syarat yang ketat: tujuan harus dipasang setinggi kedua mataku berdiri. Jika tinggiku hanya 160 senti, maka tujuan sebaiknya dipasang setinggi 150 senti pada dinding tembok."
"Wah, rumit sekali"
"Tidak. Tidak. Ini hanya..., agar mataku hanya melihat segaris tinggiku berdiri. Mataku tidak akan memandang kemana-mana, ke bawah yang harus merunduk, atau ke atas yang harus mendongak."
"Lalu, kenangan yang bagaimana yang akan kamu pajang, yang kamu jadikan tujuan?"
"Kenangan yang..., ah, aku susah menjelaskannya. Mungkin seperti ini:
Pada suasana kemeriahan hura-hura tadi malam, kenangan.
Pada lilin yang kutiup diatas tart berwarna coklat, tujuan.
Pada toga yang diselempangkan oleh rektor kampus, kenangan.
Pada suasana kemeriahan hura-hura tadi malam, kenangan.
Pada lilin yang kutiup diatas tart berwarna coklat, tujuan.
Pada toga yang diselempangkan oleh rektor kampus, kenangan.
Pada presentasi tugas akhir yang dilombakan Dikti, tujuan.
Pada seikat bunga, sekotak hadiah dan sekarung perbincangan hangat kita, kenangan.
Pada lunaknya hati yang diberi kasih sayang dan selengkung senyuman tanpa ujung. Ya, kamu tahu itu, tujuan.
Pada seikat bunga, sekotak hadiah dan sekarung perbincangan hangat kita, kenangan.
Pada lunaknya hati yang diberi kasih sayang dan selengkung senyuman tanpa ujung. Ya, kamu tahu itu, tujuan.
-In honor of a friend who need me when she broke on Saturday night,
but me already fallen asleep
suka menyimpan kenangan ya?
ReplyDeleteklo gw selama kenanngan indah pasti gw inget, klo kenangan buruk kita ambil hikmahnya dan pelajaran aja di baliknya
Setuju sama komen di atas, kenangan indah disimpan n selalu terkenang. Kenangan pahit?? Masukkan ke kardus hitam, tenggelam kan, n Jgn pernah menoleh ke blkg lg setelah melakukannya
ReplyDeleteBagi saya, tak ada yang namanya kenangan, yang ada hanya pelajaran (komen sok serius) :D
ReplyDeletehehehe apa pun kenangannya, coba dinikmati aja, toh setiap kenangan punya artinya. *ngomong ke diri sendiri* :-D
ReplyDelete