Di suatu kesempatan, rekan kerja saya, Jo, menantang saya untuk membelanjakan semua tabungan recehnya di restoran mewah di samping kantor kami, Loewy. "Kak Aprie aku kasih semua tabungan recehku, tapi buat makan ke Loewy, ya! Ini isinya lima ratus ribu ada kali." Kemudian dia diam dan berpikir, "eh. Enggak jadi, deh. Kamu kan anaknya enggak tahu malu." Sialan. Tiap hari ada saja bahan ledekan buat saya dari manusia unik satu ini.
Lantas saya menjawab, "jadi kalau ke Loewy nenteng recehan malu, ya? Mending ngutang pakai kartu kredit ketimbang nenteng recehan, gitu? Hmmm...,"
Buat Jo, recehan di restoran mewah identik dengan tidak tahu malu. Ya, saya tidak bisa menyalahkan Jo seorang, pun banyak yang punya pemikiran seperti itu. Tidak hanya pelanggan yang malu menenteng recehan ketika belanja, pelayan toko sampai owner restoran juga beberapa malas melihat pelanggannya bayar pakai uang receh.
Di lain cerita, ketika saya sedang menumpang sepeda motor kawan ke suatu tempat, dia tidak punya uang pecahan seribu utuk bayar parkir, hanya punya beberapa receh yang jumlahnya pas seribu. Karena saya segan kepada tukang parkir, maka saya menawarkan kawan saya uang kertas dua ribuan untuk dibayarkan. Jawaban kawan saya ternyata di luar dugaan, "kenapa emang kalau bayar pakai recehan? Toh, ini juga duit!" Kebalikan dari gurauan Jo tadi, kawan saya bahkan tanpa malu membayar parkir pakai recehan.
Kawan saya membuat saya sadar bahwa pandangan saya soal recehan ternyata sudah salah dari awal.
Saya dengan gampangnya setuju jika Jo memberikan semua tabungan recehnya untuk dibelanjakan karena saya sinis dianggap remeh jika menenteng receh. Terhadap mereka yang gemar underestimate sama uang receh, ya, saya tantangin aja sekalian.
Sedangkan pada tukang parkir tadi reaksi saya berkebalikan. Saya segan membayar parkir dengan uang receh karena saya pikir itu akan menyinggung perasaan tukang parkir. Niat baik saya untuk tidak menyinggung perasaannya sebenarnya sudah menjadikan saya manusia yang underestimate kepada tukang parkir itu dengan menganggapnya sebagai manusia kelas dua, jauh di bawah saya, yang harus dijaga perasaannya.
Jawaban kawan saya tadi menyadarkan saya untuk tidak melihat recehan sebagai uang yang tidak bernilai melainkan fungsinya secara adil. Bahwa recehan diciptakan untuk memudahkan transaksi, mau itu ada di Loewy atau di tempat parkir.
Recehan seperti agama, tentu saja dia tidak perlu dibela harus dimiliki oleh siapa. Walau memang kebanyakan uang receh ada di tempat-tempat tidak elit seperti kotak kembalian, kotak amal, dan kotak pengamen, seharusnya tidak membuat saya menjadi sensitif dan lalu mengotak-ngotakkan pemiliknya.
Padahal bisa saja recehan di kotak-kotak tidak elit itu nantinya akan dibawa ke restoran mewah oleh si empunya. Siapa tahu?
Buat Jo, recehan di restoran mewah identik dengan tidak tahu malu. Ya, saya tidak bisa menyalahkan Jo seorang, pun banyak yang punya pemikiran seperti itu. Tidak hanya pelanggan yang malu menenteng recehan ketika belanja, pelayan toko sampai owner restoran juga beberapa malas melihat pelanggannya bayar pakai uang receh.
Di lain cerita, ketika saya sedang menumpang sepeda motor kawan ke suatu tempat, dia tidak punya uang pecahan seribu utuk bayar parkir, hanya punya beberapa receh yang jumlahnya pas seribu. Karena saya segan kepada tukang parkir, maka saya menawarkan kawan saya uang kertas dua ribuan untuk dibayarkan. Jawaban kawan saya ternyata di luar dugaan, "kenapa emang kalau bayar pakai recehan? Toh, ini juga duit!" Kebalikan dari gurauan Jo tadi, kawan saya bahkan tanpa malu membayar parkir pakai recehan.
Kawan saya membuat saya sadar bahwa pandangan saya soal recehan ternyata sudah salah dari awal.
Saya dengan gampangnya setuju jika Jo memberikan semua tabungan recehnya untuk dibelanjakan karena saya sinis dianggap remeh jika menenteng receh. Terhadap mereka yang gemar underestimate sama uang receh, ya, saya tantangin aja sekalian.
Sedangkan pada tukang parkir tadi reaksi saya berkebalikan. Saya segan membayar parkir dengan uang receh karena saya pikir itu akan menyinggung perasaan tukang parkir. Niat baik saya untuk tidak menyinggung perasaannya sebenarnya sudah menjadikan saya manusia yang underestimate kepada tukang parkir itu dengan menganggapnya sebagai manusia kelas dua, jauh di bawah saya, yang harus dijaga perasaannya.
Jawaban kawan saya tadi menyadarkan saya untuk tidak melihat recehan sebagai uang yang tidak bernilai melainkan fungsinya secara adil. Bahwa recehan diciptakan untuk memudahkan transaksi, mau itu ada di Loewy atau di tempat parkir.
Recehan seperti agama, tentu saja dia tidak perlu dibela harus dimiliki oleh siapa. Walau memang kebanyakan uang receh ada di tempat-tempat tidak elit seperti kotak kembalian, kotak amal, dan kotak pengamen, seharusnya tidak membuat saya menjadi sensitif dan lalu mengotak-ngotakkan pemiliknya.
Padahal bisa saja recehan di kotak-kotak tidak elit itu nantinya akan dibawa ke restoran mewah oleh si empunya. Siapa tahu?
uang receh sama kertas cuma beda bentuknya aja pri, fungsinya mah sama, sama-sama alat tukar. coba aja lo waxing dan bayarnya pk recehan, lo liat deh expresi kasirnya XD
ReplyDeleteHahaha. Kalau lagi kambuh sih aku sebodok amat sama reaksi orang. Selama itu benar. Hidup recehan! #lah
DeletePadahal kalo sudah tiba waktunya, uang recehan tadi bakal jadi penyambung nyawa di tanggal tua haha Jaman kuliah dulu sering sekali saya mengalaminya momen-momen kayak gini haha
ReplyDeleteSave the best for last mbak, simpan recehan untuk akhir bulan. Itu tabungan penyambung nyawa di hari tua X)
Iya betul. Recehan saya selalu tabungin di gelas cantik. Biar receh yang penting packagingnya oke. :p
DeleteSebenernya kalau ke tempat belanja/makan aku malu sih nggak. Cuma kasian aja sama kasir dan yang ngantri di belakangku :(
ReplyDeleteAku sendiri termasuk orang yang suka mulungin receh dan uang-uang yang berceceran waktu nyuci baju sekeluarga. Lumayan kalau dikumpulin sebulan bisa seratus ribu dong...
:')
Terus bisa buat beli lipstik baru dong. :))
DeleteSelama masih sama-sama digunakan sebagai alat bayar sih yaaa tetep berlaku. toh hanya beda bentuk sama nilai tapi kalau dikumpulkan dalam jumlah tertentu nilainya jadi sama. waktu ngekos dulu akhir bulan suka nyongkel recehan hehehe
ReplyDeleteMas Dodon sama kayak Mas Fandhy nih, suka nabung recehan sampai genep. :))
DeleteHidup receeeeehhhhhh!!!
ReplyDeleteSelowwww!!!
DeleteWaahh mba, aku minya link badge nya blogger babes asia dunk.. Kok di tempatku segede apaan taok yaahh hehehe ^.^' *sorry OOT* tapi memang, orkay sekarang bawaannya malah recehh.. Tapi aku gak tau Loewy.
ReplyDeleteHahaha, Loewy lokasinya ada di Mega Kuningan. Kalau mampir kesana bisa ketemu saya #lah :)))
DeleteKode CSS Blogger Babes-nya sudah kukirim by email ya.
Waaah bukannya malu bawa recehan kak. hanya saja kadang recehan terlalu sulit untuk dibawa. kantong jadi berat dan suaranya kecrek kecrek. :(
ReplyDeleteRecehan toh juga uang, jadi ya seharusnya nggak masalah. Tapi kan nggak semua orang nganggep recehan itu juga uang. Aku juga kadang-kadang males kalo dikasih kembalian uang receh haha
ReplyDeleteaku selalu suka belanja dengan recehan,mereka para kasir minimarket kadang juga suka kalau ada orang beli pake recehan
ReplyDeleteduit mah yg penting fungsi ya mbak hehe kalo mikirin geng capek bawaannya loh hehe pizzz....
ReplyDelete