Menyambung postingan saya kemarin di acara Festival Pembaca Indonesia 2015. Kali ini saya ingin bercerita mengenai pengalaman saya mengikuti Workshop Kelas Puisi Pak Sapardi. Workshop ini sendiri termasuk dalam rangkaian acara Festival Pembaca Indonesia 2015.
Setelah bosan menukar buku dan mengelilingi berbagai macam stand, saya mencari suasana baru dengan naik ke lantai atas. ternyata di lantai atas hanya tersedia dua ruangan untuk workshop, tidak ada stand-stand buku seperti di lantai bawah. Ketika saya mendekati meja panitia untuk mencari tahu workshop apa yang akan berlangsung, terpampanglah banner tinggi dengan foto besar Bapak Sapardi Djoko Damono. Oh, tahulah saya jenis workshop apa yang akan berlangsung itu.
SAYA MAU IKUTAN!
Bagaimanapun caranya, saya harus ikut workshop itu. Saya ingin melihat sosok Sapardi. Saya ingin diajari langsung cara membuat puisi. Saya optimis pasti dapat kursi, walau panitia bilang, "workshop ini sudah penuh oleh peserta yang sudah mendaftar sebelumnya."
Tuhan mengabulkan doa saya, Pak Sapardi memasuki ruangan dan masih ada beberapa kursi kosong dibelakang. Tanpa persetujuan panitia, saya langsung duduk nyelonong.
Sungguh ini pengalaman menyenangkan, saya anggap sebagai sebuah rezeki, sayang sekali jika hanya saya simpan sendiri. Apa saja yang dikatakan Bapak Sapardi saat itu semoga dapat saya tuliskan dengan baik di sini.
Dibalik sosok renta dan seriusnya, ternyata Pak Sapardi ini doyan guyon. Beliau bertanya kepada kami semua, "untuk apa datang ke acara ini? Nanti buku-buku saya bisa tidak laku lagi." kontan kami semua tertawa.
♥ Pak Sapardi bilang, syarat untuk bisa menulis puisi hanya satu: mengetahui kaidah berbahasa indonesia! Singkatnya saya mengartikan, kita harus kenal EYD dulu baru bisa membuat puisi.
♥ Pak Sapardi bilang, puisi adalah kata-kata yang menjadi bunyi, kata-kata yang menjadi gambar. Pun sebaliknya, bebunyian dapat diubah menjadi kata-kata, gambar dapat diubah menjadi kata-kata. Puisi yang tidak bisa disuarakan dibunyikan dinyanyikan digambarkan bukanlah sebuah puisi. Ketika beliau membuat sebuah puisi, beliau sudah tahu irama puisi tersebut diatas kepala.
♥ Pak Sapardi bilang, beliau tidak akan seterkenal sekarang jika puisinya tidak banyak dinyanyikan, dilakonkan, dilukiskan oleh seniman-seniman lain. Ketika seniman-seniman tersebut berkarya karena terinspirasi oleh kata-katanya, dan karya seniman-seniman tersebut menjadi booming, otomatis orang-orang akan mencari tahu siapa sosok dibalik kata-kata yang menginspirasi karya mereka.
♥ Pak Sapardi bilang, puisi adalah metafora. "Kamu bisa menyebutkan semua penulis puisi Indonesia? Isi puisi mereka hanya akal-akalan saja." begitu kata Pak Sapardi setelah beliau membaca penggalan puisi Kutulis Surat Ini karya WS Rendra beriukut:
Setelah bosan menukar buku dan mengelilingi berbagai macam stand, saya mencari suasana baru dengan naik ke lantai atas. ternyata di lantai atas hanya tersedia dua ruangan untuk workshop, tidak ada stand-stand buku seperti di lantai bawah. Ketika saya mendekati meja panitia untuk mencari tahu workshop apa yang akan berlangsung, terpampanglah banner tinggi dengan foto besar Bapak Sapardi Djoko Damono. Oh, tahulah saya jenis workshop apa yang akan berlangsung itu.
SAYA MAU IKUTAN!
Bagaimanapun caranya, saya harus ikut workshop itu. Saya ingin melihat sosok Sapardi. Saya ingin diajari langsung cara membuat puisi. Saya optimis pasti dapat kursi, walau panitia bilang, "workshop ini sudah penuh oleh peserta yang sudah mendaftar sebelumnya."
Tuhan mengabulkan doa saya, Pak Sapardi memasuki ruangan dan masih ada beberapa kursi kosong dibelakang. Tanpa persetujuan panitia, saya langsung duduk nyelonong.
Sungguh ini pengalaman menyenangkan, saya anggap sebagai sebuah rezeki, sayang sekali jika hanya saya simpan sendiri. Apa saja yang dikatakan Bapak Sapardi saat itu semoga dapat saya tuliskan dengan baik di sini.
Dibalik sosok renta dan seriusnya, ternyata Pak Sapardi ini doyan guyon. Beliau bertanya kepada kami semua, "untuk apa datang ke acara ini? Nanti buku-buku saya bisa tidak laku lagi." kontan kami semua tertawa.
♥ Pak Sapardi bilang, syarat untuk bisa menulis puisi hanya satu: mengetahui kaidah berbahasa indonesia! Singkatnya saya mengartikan, kita harus kenal EYD dulu baru bisa membuat puisi.
♥ Pak Sapardi bilang, puisi adalah kata-kata yang menjadi bunyi, kata-kata yang menjadi gambar. Pun sebaliknya, bebunyian dapat diubah menjadi kata-kata, gambar dapat diubah menjadi kata-kata. Puisi yang tidak bisa disuarakan dibunyikan dinyanyikan digambarkan bukanlah sebuah puisi. Ketika beliau membuat sebuah puisi, beliau sudah tahu irama puisi tersebut diatas kepala.
♥ Pak Sapardi bilang, beliau tidak akan seterkenal sekarang jika puisinya tidak banyak dinyanyikan, dilakonkan, dilukiskan oleh seniman-seniman lain. Ketika seniman-seniman tersebut berkarya karena terinspirasi oleh kata-katanya, dan karya seniman-seniman tersebut menjadi booming, otomatis orang-orang akan mencari tahu siapa sosok dibalik kata-kata yang menginspirasi karya mereka.
♥ Pak Sapardi bilang, puisi adalah metafora. "Kamu bisa menyebutkan semua penulis puisi Indonesia? Isi puisi mereka hanya akal-akalan saja." begitu kata Pak Sapardi setelah beliau membaca penggalan puisi Kutulis Surat Ini karya WS Rendra beriukut:
Kutulis surat iniMenurut beliau isi puisi di atas adalah ungkapan cinta WS Rendra yang diberi sedikit metafora. Jika WS Rendra hanya mengungkapkan cinta dengan sepotong kata, "kupinang kau menjadi istriku !" belum tentu akan membuat pembacanya luluh. Namun ketika WS Rendra menuliskan metafora-metafora indah yang dapat dibayangkan dan diasosiasikan ke dalam pikiran perasaan pembacanya, siapa yang tidak akan luluh? Siapa yang akan menolak dibandingkan oleh keindahan? Kawan, hati-hati, puisi itu adalah akal-akalan saja.
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku !
♥ Pak Sapardi bilang, ketika menulis puisi buatlah jarak estetis. Puisi yang baik menurut beliau adalah puisi yang memiliki jarak dengan objeknya. Maksudnya, penulis tidak boleh langsung menuliskan sebuah puisi ketika dia sedang beremosi, baik itu marah ataupun bahagia. Ketika penulis sangat bahagia, maka tulisannya adalah ungkapan cinta semua, tidak bisa dibaca dan dinikmati oleh orang selain dirinya. Dan, ketika penulis sangat marah, maka tulisannya adalah tanda pentung semua, begini maksudnya !!!!!!!!!!, mana bisa puisi tersebut sampai kepada pembaca? Maka menulislah ketika sudah melepaskan emosi tersebut. Menulislah sambil membayangkan emosi tersebut ada sejauh lima meter di depanmu, lalu gambarlah, lukislah, nyanyikanlah.
Ada satu karya Pak Sapardi yang dituliskan dengan penuh emosi dan kemarahan, yaitu Suti. Novel Suti ditulis dan diendapkan selama puluhan tahun sebelum akhirnya diterbitkan. Menurut beliau, novel Suti jelek karena dituliskan sambil marah-marah, namun karena beliau sudah enek merevisi terus akhirnya novel itu diterbitkan saja.
♥ Pak Sapardi bilang, menulis puisi harus diimbangi dengan membaca. Beliau akan membaca sekarung buku terlebih dahulu agar mendapatkan banyak referensi dan gambaran, baru menuliskan kata-kata.
Dahulu belum ada buku dan kertas, penyair membuat puisi bedasarkan pengalaman yang mereka dapatkan lalu dibunyikan dan jadilah karya bernama syair, hikayat, macopat. Mereka disebut sastra lisan. Sedangkan penyair zaman sekarang menulis puisi bedasarkan kedalaman ilmu. Metafora akan semakin baik seiring banyaknya ilmu yang didapat penulisnya. Itulah yang membedakan puisi zaman dahulu dengan puisi zaman sekarang, kata Pak Sapardi, puisi secara tidak langsung mengejek orang yang tidak tahu apa-apa.
Demikianlah sedikit kata-kata Pak Sapardi yang dapat saya salin dan modifikasi pada postingan ini. Selebihnya adalah sesi tanya jawab yang tidak begitu saya ingat. Mengutip kata moderator workshop Kelas Puisi Pak Sapardi ini,
"Menulis itu mudah, yang kamu perlukan hanyalah peka, kontrol diri, dan akal-akalan."
ternyata EYD sangat penting dalam puisi ya mbak, puisi itu seperti rangkaian kata yang melambangkan sesuatu. itu yang saya tau.hehehe
ReplyDeleteIya, penting banget. Puisi itu sastra yang paling esensial, beda kayak tulisan blogger gini jadi EYD penting. :)
DeleteSaya juga sedang menggiatkan untuk lebih memperhatikan EYD mbak :)
DeletePelan-pelan dulu soalnya saya suka lupa, hehehe..
seru juga ke festival pembacanya ya. Banyak oleh2.
ReplyDeleteTips Pak Sapardji bisa dipraktekkin buat puisi mini nulisbuku nih..mm hihi
Seru banget! :D
DeleteMonggo Mbak ditulis puisinya.
Wah. Keren. Catet ah. Aku belum bisa dapet feel dalam puisi buatanku
ReplyDeleteMonggo, Mbak. :)
DeleteWaah keren. sayang saya tidak berkesempatan hadir di sana. terima kasih sharing ilmunya ya kak ^_^
ReplyDeleteNyimak ilmu puisinya deh. :D
ReplyDeletesaya suka tulisan ini, berhubung saya juga penggemar (alm) beliau.....
ReplyDelete